Lplh-indonesia.com,Selayar – Jika ditilik sepintas lalu, hampir tidak ada hal menonjol dan istimewa yang bisa ditemui saat langkah kaki dibawah menapaki dan menjejali ruas-ruas jalan kota Benteng, sebutan untuk ibukota Kabupaten Kepulauan Selayar.
Kota di semenanjung paling selatan, ibukota Provinsi Sulawesi-Selatan yang dihuni dan didiami oleh kurang lebih, 21.344 jiwa penduduk dengan luas wilayah sekira 7, 12 km².
Namun siapa sangka, jika wilayah yang plus merupakan jantung ibukota Kecamatan Benteng itu, ternyata menyelipkan beragam kisah, dan catatan panjang sejarah perjalanan pemerintahan daerah mulai dari masa kerajaan sampai masuknya era kemerdekaan.
Hal tersebut dibuktikan salah satunya dari sebaran bangunan tua dan situs cagar budaya peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda yang masih sangat banyak terselip di balik kepadatan bangunan permukiman penduduk, serta sarana-prasarana gedung perkantoran.
Ex. bangunan menara air (watertoren) di ruas jalan, Hati Mulia, kota Benteng, disebut-sebut merupakan salah satu situs peninggalan buatan Pemerintah Kolonial Belanda yang tetap berdiri tegak dan kokoh.
Namun sayang, karena bangunan bercat hitam putih yang sepatutnya menjadi bahagian dari saksi sejarah bisu itu, kini mulai terselip di balik kepadatan bangunan permukiman warga masyarakat dan posyandu Halimatus sa’diyah, Lingkungan Tanadoang, Kelurahan Benteng.
Beberapa bahagian atapnyapun terlihat dalam kondisi tidak terawat dan mulai rusak, termakan usia. Selain bangunan menara yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai watertoren, kota Benteng, masih menyelipkan sejumlah sebaran bangunan-bangunan tua lain, diantaranya : ex. bangunan perumahan Kejaksaan, di sudut jalan, Raden Ajeng Kartini.
Salah satu bangunan tua tak berpenghuni dengan kondisinya yang mulai rusak parah dan kini tinggal menyisakan puing-puing berserakan. Saksi bisu sejarah lain, berupa tembok menyerupai kotak persegi empat, bisa dijumpai dan disaksikan secara kasat mata, di ruas jalan Pahlawan, Lingkungan Bonea, Kelurahan Benteng Utara.
Seribu satu teka-teki dan misteri tersisa dari status keberadaan bangunan menyerupai kotak persegi empat yang mulai kusam termakan usia. Beragam bentuk spekulasipun berkembang di sekitar lokasi bangunan tua yang berdiri di atas lahan tanah kosong, berjarak sekira 20 meteran dari Kantor Lurah Benteng Utara itu.
Sebahagian warga menyatakan bangunan tersebut, tak lebih dari sekedar wadah pembuangan sampah biasa dan sama sekali tak memiliki nilai histori apa-apa. Namun belakangan, pernyataan itu kemudian dimentahkan oleh anggapan masyarakat yang menyebut bangunan berstruktur batu emba tersebut sebagai kompleks makam. (Andi Fadly Dg. Biritta)